Pertama kali kenal diary waktu SD kelas 4. Ya, pada
masa itu lagi booming – booming nya nulis diary maklumlah waktu angkatan Dila
SD, banyak temen perempuan di kelas yang mulai ABG. Mau melewati tahap pubertas atau usia segitu
terlalu cepat yah mereka semua mengalami hal itu, hahahaaaa,… masa- masa itu
kalau dikenang cuma bikin cengar – cengir plus mesam – mesem. Aku juga lupa pas
usia segitu udah naksir sama “someone” apa belum yah ? Yah, yang jelas gak
pentinglah kalau diinget – inget tapi kayaknya belum ada tuh yang aku taksir
soalnya masih asik main sama temen- temen jadi gak kepikiranlah buat menjurus
kesana kalau pun ada paling buat bahan ledek – ledekan sesama teman.
Diary pertama kali lihat buku itu pasti terkesan
feminim sekali soalnya bentuknya lucu, kertasnya berwarna terus motif hard
covernya unik. Terkadang juga bukunya mengeluarkan bau kertas yang khas.
Pokoknya buku diary itu kalau dalam istilah jawa “lenjeh” banget hahahaa…
Selama ini sih yang aku tahu umunya yang nulis diary itu ya kaum hawa. Kalaupun
ada kaum adam nulis diary mungkin itu cuma tugas dari guru Bahasa Indonesia.
Yang Dila ingat waktu kelas 1 SMP pernah dapat tugas menulis diary entah untuk
berapa bulan otomatis perempuan dan laki – laki suka gak suka ya harus nulis
diary.
Berbagai macam model – model buku diary. Ada yang
mirip buku agenda, ada yang pakai gembok , ada yang bukanya pakai kode ,ada
yang tanpa gembok tapi mata kuncinya udah nempel disitu kayak yang aku punya.
Ini contoh yang aku punya :
Mungkin
menurut beberapa orang ini terkesan berlebihan, tapi menurutku adanya gembok
dan kode membantu pemilik buku diary untuk menjaga privasinya. Biasanya menulis
buku diary itu dikamar tepatnya di meja belajar atau diatas tempat tidur terus
diumpetin di bawah bantal eh besok paginya bangun kesiangan langsung mandi berangkat
sekolah. Habis itu ibunya beresin kamar anaknya dan tanpa pikir panjang
diraihnya buku unik itu alias buku diary sambil dibaca disertai senyum kecut
dan tawa sambil bergumam “dasar anak – anak zaman sekarang kerjaannya curhat
mulu.” Beuh ini bukan potret pengalaman
pribadi ku, cerita diatas cuma khayalan
yang mendekati realita. Ckckckck…
Jujur sampai di usia ku yang beranjak kepala dua.
Aku masih senang menulis diary pasalnya banyak manfaat yang aku dapat, antara
lain :
1. Media celoteh dan mengungkapkan segala rasa baik
rasa senang dan pahit diatas kertas.
2. Meskipun buku diary benda mati dan mustahil
memberikan solusi atas apa yang aku alami setidaknya dengan menulis buku diary
mengajarkan aku akan kemandirian dalm menghadapi masalah hidup. “ Mencoba
menghapi masalah sendiri sebelum minta solusi ke orang lain. Tetap mengutamakan
penyelesaian dengan bantuan dan Ridho sang Ilahi”
Bahkan, ada loh penulis yang karyanya sampai di
filmkan “Eiffel I’m in Love” yang mencoba menulis cerita karena terbiasa
menulis diary. Keren kan…
Meskipun
terkadang teman – teman yang tahu sering mencibir “ Nulis diary masih zaman, Dil?” Berhubung
aku orang yang cuek jadi cuma nanggepin dengan senyum manis sambil angkat alis
dan bilang “masih zaman kok.”
Memang tidak semua orang suka menulis tapi ya pro
kontra terhadap hobi seseorang pasti akan bermunculan. Ada yang suka ada yang
gak suka wajarlah. Buat yang suka dan mendukung hobi ku menulis diary terima
kasih karena kalian inspirasi dan semangatku untuk menulis dan menulis lagi.
Buat yang belum atau bahkan gak mendukung alias mencibir sampai bibirnya kering
hehee gak apa – apa terima kasih juga buat komentarnya dan aku jadikan hal ini
sebagai ladang pendewasaan diri dan menyikapi perbedaan dengan santai dan
damai.